BAB 5 SISTEM POLITIK DI INDONESIA
B. Dinamika Politik Indonesia
Perkembangan yang sangat menonjol dari pelaksanaan demokrasi pada tahun-tahun awal kemerdekaan adalah banyaknya partai-partai yang didirikan.Keadaan itu terjadi karena azas demokrasi seperti yang dirumuskan dalam Pancasila itu, telah menciptakan iklim politik yang membuka lebar-bahkan menganjurkan didirikannya partai sebanyak-banyaknya, terutama dengan dikeluarkannya Maklumat No X tanggal 3 November 1945.
Banyaknya partai dengan iklim yang penuh dengan kebebasan, telah membawa kepada perkembangan demokrasi yang pelaksanaannya banyak mengalami kemacetan.Pada era UUDS 1950 nampak adanya gejala kehidupan demokrasi yang tumbuh kearah kebebasan tak terbatas, yang liberal kebarat-baratan.Demokrasi liberal boleh dikatakan telah gagal, karena memberikan peluang seluas-luasnya bagi faham-faham politik yang bersifat disintegratif untuk bermain dalam percaturan politik nasional.
Kekuasaan politik boleh dikatakan seluruhnya berada di tangan kaum politisi sipil yang berpusat di parlemen.Dalam badan legislatif itu sendiri duduk politisi-politisi yang mewakili banyak partai politik atau golongan.Dalam sistem politik yang dikenal dengan demokrasi parlementer ini, proses politik banyak diwarnai konflik politik dan ideologi, yang kadang-kadang disertai dengan bentrokan fisik dan pemberontakan.Banyaknya partai dan konflik yang terjadi menjadikan demokrasi liberal parlementer ini sebagai suatu sistem politik yang jauh dari stabil, yang ditandai dengan sering bergantinya kabinet.Antara 1950 sampai dengan 1959, tidak kurang dari 7 (tujuh) kali pergantian kabinet, hal ini menandakan pemerintahan yang tidak stabil. Ketujuh kabinet tersebut adalah : 1) Kabinet Natsir (September 1950-Maret 1951), 2) Kabinet Sukiman (April 1951 – Februari 1952), 3) kabinet Wilopo ( Februari 1952 – Juli 1953), 4) Kabinet Ali Sastroamodjojo I ( Juli 1953 – juli 1955), 5) Kabinet Burhanudin Harahap ( Agustus 1955 – Maret 1956), 6) Kabinet Ali Sastroamidjojo II (Maret 1956 – April 1957), Kabinet Karya I/R Djuanda (April 1957 – Juli 1959).
Ekses negatif yang tampak dalam kehidupan politik di masa demokrasi liberalis parlementer ini menurut M.Rusli Karim, antara lain :
· Kedudukan pemerintah, dalam hal ini kabniet sangat labil, terutama sebelum pemilu 1955
· Pemerintah belum mempunyai kesempatan yang memadai untuk mengerjakan sesuatu pekerjaan secara terencana dan tuntas
· Keputusan-keputusan politik diambil melalui pungutan suara (voting), terutama menyangkut kebijaksanaan pemerintah dan yang menjadi wewenang lembaga perwakilan rakyat
· Oposisi dijalankan dengan cara menampakkan citra negatif terhadap pemerintah di kalangan rakyat
· Karena adanya iklim kebebasan maka dalam waktu yang relatif singkat kehidupan kepartaian tumbuh laksana jamur di musim hujan
Kegagalan sistem politik tahun 1950-an yang liberal kebarat-baratan itu telah mendorong kepada lahirnya konsepsi demokrasi terpimpin, yang akhirnya juga mengalami kegagalan. Pada masa demokrasi terpimpin, pusat kekuasaan tidak lagi terletak di parlemen. Bahkan menurut Alfian, jalan proses perubahan politik selanjutnya telah menjadikan peranan badan legislatif ini sangat merosot, kalaulah tidak dapat dikatakan lumpuh. Peranan kaum politisi sipil dengan partai-partai mereka, kecuali mungkin PKI, menjadi sangat minim dalam percaturan politik.
Ada tiga kekuatan yang memainkan peranan penting dalam proses perpolitikan, yakni Presiden Soekarno, militer ABRI (terutama Angkatan Darat) dan PKI. Soekarno dianggap sebagai pemegang keseimbangan antara militer dan PKI, dan karena iitu perannya dominan dan menentukan. Format politik yang lahir masih tetap menunjukkan konflik-konflik dan persaingan, terutama antara militer dan PKI.
Dengan demikian, ketidakstabilan masih merupakan warna yang tajam dalam sistem demokrasi terpimpin. Kenyataan itu, ditambah dengan keadaan ekonomi yang amat parah, telah menyebabkan mudahnya format politik demokrasi terpimpin ini disingkirkan, setelah meletusnya peristiwa yang kemudian dikenal sebagai G30S/PKI.
Beberapa catatan penting bagi dinamika politik Indonesia di masa orde lama antara lain :
· Dibubarkannya parlemen (DPR) hasil pemilu 1955
· Pemusatan kekuasaan pada diri Presiden selaku Pemipin Besar Revolusi
· Pemilu sebagai sarana demokrasi tidak diselenggarakan pada masa ini
· Fungsi partai politik tidak dapat berjalan sebagaimana mestinya, sehingga partai politik tidak punya potensi untuk memperjuangkan kepentingan rakyat dan sebaliknya partai politik cenderung menjadi pembela kepentingan pemerintah, hal ini sangat merugikan rakyat
· Tidak adanya partisipasi politik secara bebas sesuai dengan aspirasi rakyat dan pengawasan rakyat terhadap pemerintah tidak berjalan
· Pers dikendalikan oleh pemerintah menjadi “pers terpimpin” , sebagai penyalur aspirasi dan kepentingan pemerintah.
Dua pengalaman traumatis dalam zaman demokrasi liberal dan demokrasi terpimpin telah mendorong para pendukung orde baru membangun sistem politik yang lain dari keduanya. Pelajaran yang dapat dipetik dari pelaksanaan demokrasi di masa orde lama adalah suatu konsepsi politik atau sistem demokrasi hanya dapat dijalankan dengan baik apabila didukung dengan pemahaman dan penghayatan terhadap nilai-nilai demokrasi dan budaya politik masyarakat yang menjadi pendukungnya, di samping perlu adanya pengarahan dan keteladanan dari pemimpin-pemimpin masyarakat dan para pemegang kekuasaan politik.
Pelajaran umum yang dapat ditarik adalah bahwa Indonesia hanya mungkin dapat dikelola dalam arti politis, dengan suatu sistem politik yang sesuai dengan pandangan hidup bangsa yaitu Pancasila dan UUD 1945 sebagai hukum dasar negara. Dalam hal ini muncullah apa yang kemudian dikenal dengan sistem demokrasi Pancasila di bawah naungan pemerintahan orde baru.
Orde baru dimaknai sebagai suatu orde (tatanan) pemerintahan yang diletakkan pada kemurnian pelaksanaan Pancasila dan UUD 1945.Sedangkan demokrasi Pancasila secara singkat diartikan sebagai suatu faham demokrasi yang diintegrasikan (diliputi dan dijiwai) oleh sila-sila dalam Pancasila.Salah satu ciri khas dari format baru ini adalah peranan dominan dan menentukan dari ABRI dalam politik, peranan ini lahir dari sejarah perkembangan politik itu sendiri. Dengan diterimanya dwi fungsi ABRI, maka itu bisa diartikan sebagai jaminan terhadap kelangsungan peranan militer dalam politik.
Sungguhpun begitu, ternyata peranan militer ini tidak sampai mengarah menjadi diktatur atau oligarkhi militer. Hal ini dimungkinkan karena dalam diri ABRI itu sendiri telah berkembang ideologi anti diktatur dan oligarkhi militer. Ciri khas lainnya adalah corak peranan politik golongan sipil dengan partai-partai politiknya semakin melemah. Namun di sisi lain, peranan golongan sipil lain yakni kaum teknokrat dan angkatan muda yang memasuki Golongan Karya (Golkar) nampak cukup menonjol dan dengan demikian semakin melemahkan golongan politisi yang membawa bendera partai.
Kenyataan yang muncul, Golkar lebih menunjukkan partner atau kepanjangan tangan ABRI dalam politik. Pasca pemilu 1971, terjadi penyederhanaan sistem kepartaian di Indonesia, yakni dengan fusinya beberapa partai politik menjadi dua parpol yakni Partai Persatuan Pembangunan (PPP) dan Partai Demokrasi Indonesia (PDI). Dalam kondisi seperti ini sesungguhnya sudah muncul kekhawatiran pada sebagian orang, kalau hal itu akan menjurus kepada suatu sistem politik yang monolitis sifatnya.
Sejarah telah membuktikan bahwa pada masa pemerintahan orde baru pelaksanaan demokrasi Pancasila bersifat otoriteristik. Semangat kekeluargaan dan kegotongroyongan dijadikan slogan. Kehidupan demokrasi yang menghendaki musyawarah mufakat dalam prakteknya digunakan oleh penguasa untuk menitikberatkan stabilitas keamanan, namun di pihak lain tidak menghendaki kebebasan berpendapat. Kritik yang tidak sejalan dengan kebijakan pemerintah dianggap anti Pancasila dan menghambat pembangunan. Dengan demikian, praktek demokrasi Pancasila dapat dikatakan belum sejalan dengan jiwa, semangat dan cita-cita luhur yang diamanatkan dalam UUD 1945. Fenomena yang terjadi antara lain :
· Banyak terjadi manipulasi politik
· Supremasi hukum baru sekedar menjadi slogan, keadilan belum dirasakan oleh seluruh masyarakat, banyak terjadi kasus mafia lembaga peradilan dan jual beli keputusan pengadilan, sehingga hukum belum berpihak pada keadilan
· Terjadi korupsi, kolusi dan nepotisme (KKN) yang kronis hampir di seluruh lembaga negara baik di tingkat pusat maupun daerah
· Terdapat ketidakadilan dalam perlakuan terhadap partai politik
· Kebebasan berpendapat dibatasi dengan alasan memelihara stabilitas keamanan
Dinamika politik yang ternyata tidak menguntungkan bagi kehidupan rakyat banyak, terus berlangsung dan bahkan keadaan semakin parah ketika menjelang akhir abad 20 (tahun 1997-an) terjadi krisis ekonomi dan moneter yang kemudian diikuti krisis kepercayaan, dan berbagai krisis lainnya. Singkatnya, Indonesia mengalami krisis multidimensi. Dalam keadaan demikian, gelombang protes dan unjuk rasa mahasiswa semakin hari semakin gencar, dengan tuntutan agar pemerintahan (rezim) orde baru turun dari panggung kekuasaan. Pada akhirnya, pertengahan 1998 Presiden Suharto menyatakan mengundurkan diri, dan jabatan Presiden diserahkan kepada Wakil Presiden BJ Habibie. Kekuasaan orde barupun berakhir dengan catatan sejarah yang kurang baik, karena telah gagal membawa bangsa Indonesia menuju kehidupan politik yang sesuai dengan makna UUD 1945. bersamaan dengan itu, muncullah pemikiran atau format baru politik Indonesia yakni orde reformasi.
Era reformasi disebut juga era kebangkitan demokrasi. Dalam pandangan BJ Habibie esensi reformasi nasional adalah koreksi terencana, melembaga dan berkesinambungan terhadap seluruh penyimpangan yang telah terjadi dalam bidang ekonomi, politik dan hukum. Sedangkan sasaran reformasi adalah agar bangsa Indonesia bangkit kembali dalam suasana yang lebih terbuka, lebih teratur, dan lebih demokratis.
Dinamika politik era reformasi dapat dilihat berdasarkan aktivitas politik kenegaraan sbb:
· Kebijakan pemerintah yang memberi ruang gerak lebih luas terhadap hak-hak untuk mengeluarkan pendapat secara lisan maupun tulisan yang terwujud dalm bentuk peraturan perundang-undangan. Misalnya, UU no 9 tahun 1998 tentang Kebebasan menyatakan pendapat di muka umum dan UU nomor 2 tahun 1999 tentang partai politik yang memungkinkan sistem multipartai.
· Upaya mewujudkan pemerintahan yang bersih dari KKN, berwibawa, dan bertanggung jawab dibuktikan dengan dikeluarkannya ketetapan MPR no IX/MPR/1998, dan ditindaklanjuti dengan keluarnya UU no 30 tahun 2002 tentang pembentukan Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.
· Lembaga legislatif dan organisasi sosial politik sudah memiliki keberanian untuk menyalurkan pendapatnya terhadap eksekutif yang cenderung lebih seimbang dan proporsional
· Lembaga tertinggi negara MPR telah berani mengambil langkah-langkah politik melalui pelaksanaan sidang tahunan dengan menuntut adanya laporan kemajuan kerja (progress report) semua lembaga negara, amandemen terhadap UUD 1945, pemisahan jabatan antara Ketua MPR dan Ketua DPR.
· Media massa diberikan kebebasan dalam menentukan tugas jurnalistiknya secara professional tanpa ada rasa ketakutan untuk dicabut surat ijin penerbitannya.
· Adanya pembatasan jabatan Presiden yakni hanya dapat menjabat untuk 2 kali masa jabatan dan sejak tahun 2004 Presiden dipilih langsung oleh rakyat
· Dalam perjalanan politiknya, era reformasi ini belumlah mencapai hasil yang sesuai dengan visi dan misi reformasi. Masih banyak tatanan politik, ekonomi, dan hokum yang belum sesuai dengan harapan masyarakat, misalnya pemberantasan korupsi yang masih tersendat-sendat, penegakkan hukum yang belum optimal, partisipasi masyarakat yang belum disertai dengan pengetahuan dan kesadaran politik yang memadai.
C. Perbandingan Sistem Politik Liberal, Sistem Politik Komunis dan Sistem Politik Indonesia
Dalam ilmu politik dikenal adanya tiga macam cita-cita kenegaraan, yakni :
· Kolektivisme, yang berpendirian bahwa manusia merupakan bagian saja dari masyarakat (kolektiva), tanpa masyarakat ia tidak berarti apa-apa, oleh karena itu segala usaha harus diarahkan untuk menjamin kelangsungan hidup masyarakat; individu kurang mendapatkan perhatian. Cita-cita kenegaraan ini pada umumnya dijumpai di negara-negara yang menganut faham komunisme.
· Individualisme, yang berpendirian bahwa manusia merupakan individu yang mandiri, di mana segala usaha ditujukan untuk menjamin kelangsungan hidup dan tercapainya kebahagiaan individu. Cita-cita kenegaraan ini pada umumnya dijumpai di negara-nbegara barat yang menganut sistem demokrasi liberal.
· Integralisme, yaitu faham nasionalisme integral, di mana negara bersatu dengan rakyat dan mengatasi seluruh golongan yang ada dalam segala lapangan kehidupan dengan kepemimpinan yang mutlak. Cita-cita kenegaraan ini biasanya menjelma di dalam kediktatoran.
Sistem Politik Liberal
Sistem politik liberal yang dianut di negara-negara barat dapat dideskripsikan sebagai berikut:
· adanya kebebasan berpikir bagi tiap individu atau kelompok;
· pembatasan kekuasaan; khususnya dari pemerintah dan agama;
· penegakan hukum;
· Sangat menjunjung tinggi hak-hak asasi manusia, yang menjadi pemusatan kepentingan adalah individu
· Melahirkan sekularisme, yaitu paham yang memisahkan antara negara dengan agama pertukaran gagasan yang bebas;
· sistem pemerintahan yang transparan yang didalamnya terdapat jaminan hak-hak kaum minoritas
· Pengambilan keputusan dalam sistem politik liberal mengacu pada suara terbanyak melalui voting, sehingga kemungkinan bisa terjadi dominasi mayoritas
· kebebasan yang mengarah pada free fight liberalism
· Adanya budaya yang tinggi dengan menjungjung tinggi kreatifitas, produktifitas, efektifitas, dan inovasitas warga negaranya
Sistem Politik Komunis
Sistem politik komunis yang dianut di negara-negara timur dapat dideskripsikan sebagai berikut:
· Bercirikan pemerintahan yang sentralistik, mengarah pada diktatur atau totaliter
· mengutamakan kepentingan kolektif dan menghapuskan hak individu, hak milik pribadi, hak-hak sipil dan politik,
· tidak adanya mekanisme pemilu yang terbuka,
· tidak adanya oposisi,
· dorninasi partai tunggal yang mutlak, yaitu partai komunis.
· terdapat pembatasan terhadap arus informasi dan kebebasan berpendapat
· terjadi tirani minoritas
· mengarah pada system etatisme (pengendalian ekonomi oleh negara)
Sistem Politik demokrasi Pancasila
Sistem politik demokrasi Pancasila dapat dideskripsikan secara garis besar sebagai berikut:
· Bersumber pada pandangan atau falsafah kekeluargaan, yakni suatu faham yang mengutamakan rasa kebersamaan dengan dilandasi oleh rasa kasih sayang
· Dalam kehidupan sosial politik, dimungkinkan adanya kebebasan berpendapat dan berpartisipasi dalam berbagai aktivitas
· Sistem politik demokrasi Pancasila menganut kebebasan yang bertanggung jawab, sebuah perpaduan kebebasan individu dengan tanggung jawab sosial
· Pengambilan keputusan dalam sistem politik demokrasi Pancasila dilakukan melalui mekanisme musyawarah mufakat, dan kalau cara ini tidak tercapai baru dilakukan voting (suara terbanyak)
· Sistem politik demokrasi Pancasila dilandasi semangat kekeluargaan dan kegotongroyongan, sehingga dapat dihindari dominasi mayoritas dan tirani minoritas
Sistem politik Indonesia didasarkan pada nilai, prinsip, prosedur, dan kelembagaan yang demokratis. Adapun sendi-sendi pokok dari sistem politik demokrasi di Indonesia adalah :1) Ide kedaulatan rakyat; 2) Negara berdasarkan atas hokum; 3) Bentuk Republik; 4) Pemerintahan berdasarkan konstitusi; 5) Pemerintahan yang bertanggung jawab; 6) Sistem Perwakilan; 7) Sistem pemerintahan presidensiil
Sedangkan pokok-pokok dalam sistem politik Indonesia adalah sebagai berikut;
- Negara berbentuk kesatuan dengan prinsip otonomi yang luas. disamping adanya pemerintah pusat, terdapat pemerintah daerah yang memiliki hak otonom
- Pemerintahan berbentuk republik, sedangkan sistem pemerintahan presidensial
- Presiden adalah kepala negara sekaligus kepala pemerintahan. Presiden dan wakil presiden dipilih secara langsung oleh rakyat untuk masa jabatan 5 tahun
- Kabinet atau menteri di angkat oleh presiden dan bertanggung jawab kepada presiden.
- Parlemen terdiri dari dua kamar (bikameral), yaitu Dewan Perwakilan Rakyat(DPR) dan Dewan Perwakilan Daerah (DPD)
- Pemilu di selenggarakan untuk memilih presiden dan wakil presiden, Anggota DPR, anggota DPD, anggota DPRD Propinsi dan anggota DPRD kabupaten/kota
- Sistem multipartai (banyak partai)
- Kekuasaan Yudikatif di jalankan oleh Mahkamah Agung dan badan peradilan dibawahnya yaitu pengadilan tinggi dan pengadilan negari serta sebuah Mahkamah Konstitusi
- Lembaga negara lainnya adalah Badan Pemeriksa Keuanagan dan Komisi Yudisial
Tidak ada komentar:
Posting Komentar