Pertemuan 5 Bab 7
Budaya Politik Indonesia
Tipe-Tipe Budaya Politik Yang Berkembang
Dalam Masyarakat Indonesia
A. Tipe-tipe Budaya Politik
Berdasarkan tingkat orientasi politik (tingkat kognisi, afeksi, dan evaluasinya terhadap obyek-obyek politik), terdapat tiga tipe budaya politik, yaitu :
- Budaya politik parokial, yaitu budaya politik yang terbatas pada wilayah tertentu bahkan masyarakat belum memiliki kesadaran berpolitik. Sekalipun ada kesadaran politik, mereka lebih cenderung menyerahkannya kepada pemimpin lokal seperti kepala suku. Contoh masyarakat yang memiliki budaya politik demikian adalah masyarakat suku-suku di Afrika atau komunitas-komunitas lokal yang otonom (kerajaan sentralistis) di Afrika atau di benua lain.
- Budaya politik kaula (subyek), artinya masyarakat sudah memiliki kesadaran terhadap sistem politik namun tidak berdaya dan tidak mampu berpartisipasi sehingga hanya melihat outputnya saja tanpa bisa memberikan input. Contoh dari tipe orientasi ini adalah golongan bangsawan Perancis. Mereka sangat menyadari akan adanya institusi demokrasi, tetapi secara sederhana hal ini tidak memberi keabsahan pada mereka.
- Budaya politik partisipan, adalah satu bentuk budaya yang anggota-anggota masyarakatnya cenderung memiliki orientasi yang nyata terhadap sistem secara keseluruhan, struktur dan proses politik serta administrative (obyek-obyek input dan output). Masyarakat sudah mulai melibatkan diri secara intensif dalam berbagai kegiatan politik. Mereka bisa merupakan anggota aktif ormas atau parpol, atau anggota masyarakat biasa yang dapat menilai dengan penuh kesadaran baik sistem politik sebagai totalitas, masukan atau keluaran kebijakan pemerintah, maupun posisi dirinya sendiri dalam berpolitik.
Budaya politik campuran, maksudnya disetiap bangsa budaya politik itu tidak terpaku kepada satu budaya. Sekalipun sekarang banyak negara sudah maju, namun ternyata tidak semuanya berbudaya partisipan, masih ada yang kaula dan parokial. Inilah yang kemudian disebut sebagai budaya politik campuran.
- Budaya subyek-parokial. Tipe budaya politik yang sebagian besar penduduknya menolak tuntutan-tuntutan ekslusif (khusus) masyarakat kesukuan atau desa atau otoritas feodal dan telah mengembangkan kesetiaan terhadap sistem politik yang lebih kompleks dengan struktur-struktur pemerintahan pusat yang bersifat khusus. Bentuk budaya campuran ini merupakan peralihan atau perubahan dari pola budaya parokial (parokialisme lokal) menuju pola budaya subyek (pemerintahan yang sentralistis).
- Budaya subyek-partisipan. Merupakan peralihan atau perubahan dari budaya subjek (pemerintahan yang sentralistis) menuju budaya partisipan (demokratis). Cara-cara yang berlangsung dalam proses peralihan dari budaya parokial menuju budaya subjek turut berpengaruh pada proses ini. Dalam proses peralihan ini, pusat kekuasaan parokial dan lokal turut mendukung pembangunan infrastruktur demokratis.
- Budaya parokial-partisipan. Banyak terdapat pada negara-negara berkembang yang melaksanakan pembangunan politik. Di sejumlah negara ini pada umumnya budaya politik yang dominan adalah budaya parokial. Sedangkan norma-norma struktural yang diperkenalkan biasanya bersifat partisipan
B. Perkembangan Budaya Politik Masyarakat Indonesia
Dalam proses pembentukan budaya politik Indonesia ini, terdapat beberapa unsur yang berpengaruh, yakni: 1) Unsur sub budaya politik yang berbentuk budaya politik asal, 2) Unsur suatu budaya politik yang berasal dari luar lingkungan tempat budaya politik asal itu berada, 3) Budaya politik nasional
Menurut Nazarudin Syamsudin budaya politik Indonesia adalah Bhineka Tunggal Ika, karena simbol ini sudah dikenal oleh bangsa Indonesia. Sedangkan menurut Moerdiono budaya politik Indonesia adalah Demokrasi Pancasila, karena Pancasila merupakan pandangan hidup dan dasar negara bangsa Indonesia. Seorang ilmuwan politik Australia, Herbert Feith, mengemukakan bahwa Indonesia memiliki dua budaya politik yang dominan, yaitu “aristokrasi Jawa” dan “wiraswasta Islam”.
Sedangkan Hildred Geertz, seorang ahli antropologi Amerika Serikat, mengelompokkan masyarakat Indonesia ke dalam tiga sub budaya politik yaitu: 1) Budaya politik petani pedalaman Jawa dan Bali; 2) Budaya politik masyarakat Islam pantai; 3) Budaya politik masyarakat pegunungan.
Meskipun di antara para ilmuwan politik belum terdapat kesepakatan tentang wujud budaya politik Indonesia, Affan Gaffar mengidentifikasi budaya politik Indonesia sebagai berikut.
1) Adanya hirarki yang tegas. Maksudnya adalah adanya pembedaan jenjang atau tingkatan yang tegas antara para pejabat (golongan atas) dan masyarakat biasa (golongan bawah).
2) Kecenderungan patronage. Patronage merupakan pola hubungan antara dua pihak, yang terdiri dari patron (bapak/atasan) dan client (anak/bawahan) sehingga sering pula disebut “patron-client”.
3) Kecenderungan neo-patrimonialistik. Neo berarti baru, sedangkan Patrimonial merupakan hubungan kekeluargaan, dimana kedudukan Bapak dominan sebagai pemilik keluarga tersebut.
Ciri-ciri budaya politik masyarakat Indonesia seperti yang dikemukakan oleh Affan Ghaffar di atas, menunjukan bahwa budaya politik masyarakat Indonesia masih mencirikan budaya politik gabungan antara parokial dan subyek. Dalam kenyataannya, disamping budaya politik parokial dan subyek, di dalam masyarakat Indonesia juga sudah ada kelompok masyarakat yang memiliki budaya politik partisipan, meskipun mungkin jumlahnya masih sedikit.
Terbentuknya negara kesatuan republik Indonesia dan pembangunan politik yang mengikutinya tidak hanya merupakan peristiwa politik, tetapi juga merupakan peristiwa budaya, mencakup tiga dimensi budaya, yakni :
1) bahwa perubahan dari kesatuan-kesatuan etnis kepada kesatuan baru yaitu negara kebangsaan mengimplikasikan perubahan identitas masyarakat.
2) legitimasi politik. Sumber dari otorisasi dan legitimitas politik dengan pembentukan negara kesatuan RI telah berubah, dari yang transendental kepada yang imanen; dari yang sumber sakral kepada konsensus.
3) partisipasi, yakni keterlibatan warganegara dalam proses politik yang intinya adalah proses pengambilan keputusan.
Berfungsinya budaya politik pada prinsipnya ditentukan oleh tingkat keserasian antara kebudayaan bangsa dengan struktur politiknya. Dengan demikian, semakin serasi budaya suatu bangsa dengan struktur politiknya, maka semakin matang pula budaya politik dalam masyarakatnya.
Pertumbuhan budaya politik nasional melalui tahapan-tahapan :
1. berlakunya politik nasional yang sedang berada dalam proses pembentukannya
2. budaya politik nasional yang tengah mengalami proses pematangan
3. budaya politik nasional yang sudah mapan, yaitu budaya politik yang telah diakui keberadaannya secara nasional
Proses pematangan budaya politik, menurut Nazaruddin Sjamsuddin, pada dasarnya melibatkan tahap penyerasian antara budaya politik lokal dengan struktur politik nasional. Budaya politik lokal yang sudah kukuh ( karena telah ada jauh sebelum masa kemerdekaan ) akan diserasikan dengan struktur politik nasional yang baru tumbuh dan berkembang sejak kemerdekaan. Menurutnya, berbagai wujud budaya politik lokal yang ada pada dasarnya cukup mencerminkan bagaimana hubungan suatu daerah dengan pengaruh yang datang dari luar.
Politik yang sehat tentunya harus dibangun diatas jiwa dan moralitas politik yang benar, yang mampu merasakan denyut nadi rakyat yang menjadi tolak ukur ada tidaknya dukungan politik dalam kerangka berdemokrasi secara sehat. Untuk itu diperlukan perencanaan format politik sebagai berikut :
- Menetapkan dan memantapkan wacana sistem politik yang terbuka, yang memperkenankan partisipasi luas masyarakat terlibat dalam urusan politik dan pelibatannya dalam proses pengambilan keputusan nasional baik langsung atau tidak langsung.
- Fungsionalisasi secara maksimal lembaga eksekutif, legislatif ,yudikatif dan lembaga kenegaraan lainnya secara efektif untuk saling mengawasi dan bekerjasama dalam kerangka demokrasi dan penegakan konstitusi.
- Proses rekrutmen politik yang berasal dari bawah, atas kehendak rakyat dalam memilih wakil-wakilnya di lembaga-lembaga kenegaraan secara transparan dengan kaidah profesionalisme dan keberpihakan untuk bekerja bagi rakyat.
- Sistem pemilihan umum yang langsung, pemilihan anggota parlemen dan Presiden langsung, yang memungkinkan seluruh rakyat terlibat dalam proses demokrasi.
- Menempatkan peran militer dengan tepat sebagai alat pertahanan negara yang perlu dihargai tanpa harus mengintervensi kepentingannya untuk menjaga profesionalismenya
- Format hubungan sipil militer dalam kerangka tugas pemerintahan, hubungan kelembagaan dan peran politik sebagai warga negara, ditempatkan secara proporsional, objektif dan egaliter, dibawah kepemimpinan Sipil.
- Memantapkan tujuan ber-Negara untuk membuat rakyat sejahtera dan menjamin rasa aman bagi seluruh yang bernaung dalam Negara.
Dari uraian di atas, dapat disimpulkan, bahwa budaya politik di Indonesia bisa dilihat dari aspek:
· Konfigurasi subkultur. Indonesia terdiri dari berbagai suku bangsa yang beragam, namun semuanya sudah melebur menjadi satu bangsa sehingga tidak muncul kekhawatiran terjadi konflik.
· Bersifat Parokial kaula. Karena masyarakat Indonesia mayoritas masih berpendidikan rendah maka budaya politiknya masih bersifat parokial kaula.
· Ikatan primordial, sentimen kedaerahan masih muncul apalagi ketika Otonomi Daerah diberlakukan.
· Paternalisme, artinya masih muncul budaya asal bapak senang (ABS)
· Dilema interaksi modernisme dengan tradisi. Indonesia masih kuat dengan tradisi namun modernisme mulai muncul dan menggeser tradisi tersebut sehingga memunculkan sikap dilematis.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar