Kamis, 22 Oktober 2020

BAB 3 Sistem dan Demokrasi Pancasila di Indonesia (pertemuan 8)

BAB 3  

Sistem dan Demokrasi Pancasila di Indonesia

Gambar  Kabinet pemerintahan Jokowi Periode 1 (Sumber :  kawanmas.blogspot.com)

A. Pelaksanaan Demokrasi di Indonesia Sejak Orde Lama, Orde Baru dan Orde Reformasi

 Silahkan melihat chanel youtube ini agar mendapat pengetahuan baru mengenai materi Demokrasi di Indonesia :




Sumber :
https://www.youtube.com/watch?v=FRg9Y2Occ84&t=1013s 

Mencari demokrasi bagi bangsa kita merupakan suatu perjalanan kultural yang sangat panjang, yaitu perjalanan yang dimulai dari budaya feodal-kolonial menuju ke suatu budaya baru dalam masyarakat kita yang bersifat pluralistik dan multi-kultural ini. Kita masih terus mencari titik-titik temu kultural antara berbagai golongan, lapisan, serta aliran dalam masyarakat kita.  Di samping itu dari pengalaman bangsa selama ini,  terasa bahwa dalam tatanan masyarakat kita mencari demokrasi bukan urusan mencari sistem politik semata-mata.

Dalam sistem politik "demokrasi liberal" yang dipraktekkan dari tahun 1945 sampai 1959 terjadi dominasi politik parlemen yang tidak memungkinkan terbentuknya suatu pemerintahan yang efektif dan mampu bertahan hidup. Ekses negatif yang tampak dalam kehidupan politik di masa demokrasi liberal menurut Toto S. Pandoyo,  antara lain:

1        Kedudukan pemerintah (kabinet) sangat labil, terutama sebelum pemilu 1955

2   Pemerintah belum mempunyai kesempatan yang memadai untuk mengerjakan sesuatu secara terencana dan tuntas

3  Keputusan-keputusan politik diambil melalui perhitungan suara (voting), terutama menyangkut kebijaksanaan pemerintah dan yang menjadi wewnang lembaga perwakilan

4        Oposisi dijalakan dengan cara menampakkan citra negatif terhadap pemerintah di kalangan rakyat

5    Karena adanya iklim kebebasan maka dalam waktu yang relatif singkat kehidupan kepartaian tumbuh laksana jamur di musim hujan.

Sebagai catatan, dalam kurun waktu antara 1950 – 1959 terjadi 7 kali pergantian kabinet yakni : 1) kabinet Natsir (September 1950 – Maret 1951); 2) Kabinet Sukiman ( April 1951 – Februari 1952); 3) Kabinet Wilopo (Februari 1952 – Juli 1953); 4) Kabinet Ali Sastroamidjojo 1 ( Juli 1953 – Juli 1955); 5) Kabinet Burhanudin Harahap ( Agustus 1955 – Maret 1956); 6) Kabinet Ali Sastroamidjojo 2 ( Maret 1956 – April 1957); 7) Kabinet Djuanda (April 1957 – Juli 1959)

Isi Dekrt Presiden yang di sampaikan oleh Presiden Soekarno (Sumber : www.artikelsiana.com)

Setelah dekrit Presiden 5 Juli 1959 dipraktekkan sistem "demokrasi gotong royong” dalam suatu bingkai demokrasi terpimpin. Sistem baru ini menurut Albert Widjaya memungkinkan pemerintah (eksekutif) memegang kekuasaan lebih besar sedangkan lembaga legislatif lebih lemah.  Dalam periode ini pemikiran-pemikiran demokrasi barat banyak ditinggalkan, dengan alasan liberalisme tidak sesuai dengan kepribadan Indonesia. Demokrasi terpimpin cenderung untuk terlalu menitikberatkan pada aspek “terpimpin”nya, sehingga menjurus kepada ”disguised authority”. Yang ada bukan demokratisasi dalam arti ikut sertanya rakyat dalam proses pembuatan keputusan, tetapi politisasi yaitu partisipasi rakyat terbatas semata-mata pada pelaksanaan keputusan yang telah dibuat penguasa.

Sesudah tragedi nasional yang terkenal dengan istilah G30S/PKI pada tahun 1965, dibangunlah sistem demokrasi baru, yaitu sistem "demokrasi Orde Baru", yang di kelak kemudian hari dinilai cenderung mengarah pada sifat otoriter dan feodalistik. Dalam era orde baru ini, beberapa praktek politik kenegaraan yang tidak sejalan dengan nilai-nilai demokrasi Pancasila, antara lain: Banyak terjadi manipulasi politik; Lemahnya penegakkan supremasi hukum; Maraknya korupsi, kolusi dan nepotisme; Pembatasan kebebasan berpendapat; Banyak terjadi ketidakadilan, termasuk perlakuan terhadap partai politik dan organisasi massa lainnya.

Pemerintahan orde baru berakhir pada tahun 1998, sistem yang ingin dibangun adalah "demokrasi reformatif". Pada kenyataannya kita dihadapkan pada kesulitan untuk menemukan keseimbangan antara realita ke-bhinnekaan (plurality) dengan cita ketunggalan (unity).Semboyan Bhinneka Tunggal Ika (Unity inDiversity) belum juga dapat kita wujudkan ke dalam kehidupan bermasyarakat kita, dalam arti kita belum berhasil mengembangkan kehidupan bersama yang bernafaskan harmoni dan kreativitas. Perjalanan mencari demokrasi bagi bangsa kita merupakan perjalanan sangat panjang menuju perubahan-perubahan yang pada dasarnya berupa perjalanan menuju transformasi kultural.

Secara jujur, kita harus mengakui bahwa dalam beberapa segi reformasi telah membawa kemajuan bagi proses demokrasi. Sebagai contoh,  beberapa bentuk kebebasan dapat dinikmati dan dirasakan rakyat, di antaranya yang menonjol ialah:

·         kebebasan mengemukakan pendapat secara lisan dan tulisan di muka umum, seperti demonstrasi, menyampaikan petisi, menulis buku dan membuat selebaran.

·         kebebasan berkumpul seperti mendirikan organisasi termasuk partai politik

·         kebebasan pers termasuk reportase penyelidikan {investigative, reporting) dan penulisan tertentu misalnya tentang politik dan konflik antar kelompok/golongan.

·         pemilu yang bebas, termasuk bebas menggunakan hak/tidak menggunakan hak dan bebas menjatuhkan pilihan

Dalam era reformasi, pelaksanaan demokrasi Pancasila diusahakan mencakup hal-hal a.l.:

·         Pengamalan Demokrasi Pancasila dijiwai oleh Ketuhanan Yang Maha Esa

·         Demokrasi Pancasila menjunjung hak asasi manusia

·         Demokrasi Pancasila mengutamakan kedaulatan rakyat

·         Demokrasi Pancasila menganut pembagian kekuasaan

·         Demokrasi Pancasila didukung oleh kesadaran warganegara

·         Demokrasi Pancasila menjamin otonomi daerah

·         Demokrasi Pancasila menjunjung tinggi peradilan yang bebas dan tidak memihak

·         Demokrasi Pancasila mengutamakan kesejahteraan rakyat

Demokrasi memerlukan prasyarat karakter atau perilaku dasar tertentu dalam kehidupan bermasyarakat dan bernegara, yang hakikatnya adalah:

1)      menghormati sesama manusia sama dan sederajat dengan hak dan kewajiban yang sama,

2)      memiliki keterbukaan hati dan pikiran,

3)      menyelesaikan semua masalah bersama melalui dialog tanpa kekerasan dan menghormati hasil yang disepakati,

4)      memiliki jiwa yang jujur dan semangat yang sportif.

Keempat karakter atau perilaku dasar tersebut di atas walaupun sederhana, namun realisasinya memerlukan dukungan pendidikan yang cukup tinggi, karena memerlukan landasan rasionalitas yang tinggi. Berdialog dan berdiskusi secara santun dan nalar hanya dapat dilakukan apabila para pesertanya sama-sama memiliki kemampuan bernalar yang baik. Sebuah dialog yang terbuka dan berhasil baik hanya dapat dilakukan apabila masing-masing peserta berjiwa jujur dan bersemangat yang sportif, yaitu berani menerima kelebihan lawan dan mengakui kekurangan sendiri.

Dalam program character building, keempat ciri karakter demokrasi tersebut di atas harus ditanamkan dan diteladankan dalam kehidupan masyarakat sejak di bangku Sekolah Dasar (SD), sehingga melekat dan tumbuh sebagai budaya dasar bangsa Indonesia. Budaya dasar bangsa Indonesia dicerminkan dalam kelima sila Pancasila. Dalam alinea keempat Pembukaan UUD 1945 diamanatkan agar pemerintahan negara dibentuk berdasarkan Pancasila. Dalam menegakkan budaya dasar bangsa Indonesia yang pertama-tama harus diwujudkan adalah pemerintahan negara yang benar-benar melaksanakan ketentuan sila-sila Pancasila, yang secara nyata ditampakkan dalam sistem pemerintahan negara, dalam struktur dan kulturnya, dalam pelayanan publiknya dan dalam perilaku para pejabatnya.

Pembangunan masyarakat tersebut bertumpu pada: 1) Keimanan dan ketakwaan terhadap Tuhan Yang Maha Esa; 2) Etika dan moral; 3) Kedaulatan rakyat atau demokrasi; 4) Kebebasan dan keterbukaan; 5) Hukum di atas kekuasaan; 6) Hak asasi; 7) Keadilan social; 8) Kelestarian lingkungan

Pada dasarnya demokrasi bukan hanya menyangkut sistem politik pada tingkat negara, lebih dari itu demokrasi juga mecakup kehidupan keseharian masyarakat. Proses demokrasi harus tercermin dalam interaksi antar kelompok dan golongan dalam masyarakat. Pola kehidupan keluarga, bahkan hubungan antar individu harus didasarkan pada sistem demokrasi. Artinya demokratisasi harus dimulai dari ruang terkecil dalam interaksi masyarakat. Pada tataran individu, struktur relasi kekuasaan juga menentukan esensi dan kualitas demokrasi level di atasnya, yaitu masyarakat dan negara. Proses demokrasi akan berlangsung lebih baik jika setiap individu memiliki pengetahuan yang memadai tentang nilai-nilai demokrasi. Perilaku dan kultur demokrasi menunjuk pada nilai-nilai demokrasi di masyarakat. Masyarakat yang demokratis adalah masyarakat yang dilandasi oleh nilai-nilai demokrasi.

Nilai-nilai demokrasi Menurut Henry B. Mayo: Menyelesaikan perselisihan dengan damai dan secara melembaga; Menjamin terselenggaranya perubahan secara damai dalam suatu masyarakat yang sedang berubah; Menyelenggarakan pergantian pemimpin secara teratur; Membatasi pemakaian sampai minim; Mengakui serta menganggap wajar adanya keanekaragaman; Menjamin tegaknya keadilan.

Menurut Prof Suhardiman,SE, di Indonesia sudah ada institusi demokrasi, namun masyarakat belum menikmati demokrasi, baik dikalangan pemerintahan, maupun jasa usaha. Dari segi pemerintahan masyarakat banyak merasa tertindas. Pada jasa usaha terjadi penindasan terhadap pekerja. Nampaknya demokrasi masih merupakan usaha, dan masih terbatas pada kaum elit. Disini terlihat institusi tidak didukung oleh perilaku demokratis. Tercapainya demokrasi sampai menyentuh kehidupan rakyat cukup lama dan sulit, sehingga masih sangat mutlak diperlukan membangun budaya demokrasi.

Ada 3 hal pengetahuan dan kesadaran demokrasi:

1.      demokrasi adalah pola kehidupan menjamin hak warganegara

2.      demokrasi merupakan the long learning process (proses pembelajaran yang panjang)

3.      kelangsungan demokrasi tergantung kepada proses pendidikan demokrasi pada masyarakat secara luas.

Nilai-nilai demokrasi itu dapat digali dalam makna demokrasi itu sendiri yang telah dijabarkan dalam UUD dan kehidupan bernegara. Paling tidak nilai-nilai demokrasi  itu mencakup: masalah kedaulatan; makna negara berbentuk republic; negara berdasar atas hukum; pemerintahan yang konstitusionil; sistem perwakilan; prinsip musyawarah; prinsip Ketuhanan

Sebagai akhir uraian ini ada baiknya perhatikan Visi Indonesia 2020: terwujudnya masyarakat Indonesia yang religius, manusiawi, bersatu, demokratis, adil, sejahtera, maju, mandiri serta baik dan bersih dalam penyelenggaraan negara. Indikator demokratis yaitu :

a.       Terwujudnya keseimbangan kekuasaan antara lembaga penyelenggara negara dan hubungan kekuasaan antara pemerintahan nasional dan daerah

b.      Menguatnya partisipasi politik sebagai perwujudan kedaulatan rakyat melalui pemilihan umum jujur, adil dan langsung, umum, bebas dan rahasia, efektifitas peran dan fungsi partai politik dan kontrol sosial masyarakat yang semakin meluas

c.       Berkembangnya organisasi sosial, organisasi kemasyarakatan dan organisasi politik yang bersifat tebuka

d.      Terwujudnya mekanisme kontrol di dalam kehidupan berbangsa dan bernegara

e.       Berkembangnya budaya demokrasi, transparasi, akuntabilitas, jujur, sportif, menghargai perbedaan

f.       Berkembangnya sistem kepemimpinan yang egaliter dan rasional.

Senin, 19 Oktober 2020

Bab 5 Sistem Politik di Indonesia (Pertemuan 14)

 BAB 5 SISTEM POLITIK DI INDONESIA

D.       Kelebihan dan Kelemahan Sistem Politik Indonesia

Keunggulan sistem politik demokrasi Pancasila antara lain :

·   Adanya keseimbangan antara kepentingan individu dengan kepentingan masyarakat, sehingga tidak terjadi penindasan oleh orang atau kelompok yang kuat terhadap yang lemah di bidang politik, ekonomi, sosial, budaya hukum, dan sebagainya

·   Adanya kebebasan diikuti dengan rasa tanggung jawab, sehingga tidak terjadi kebebasan yang tanpa batas dan juga tidak terjadi pembelengguan hak-hak pribadi

·   Keputusan diambil melalui musyawarah mufakat yang dilandasi semangat kekeluargaan dan kegotongroyongan,  sehingga menjamin kepentingan semua pihak dan tidak terjadi dominasi mayoritas dan tirani minoritas

·   Adanya jaminan kebebasan berserikat, berkumpul dan berpendapat sehingga memungkinkan partisipasi warganegara secara leluasa dalam berbagai bidang kehidupan

Kelemahan sistem politik demokrasi Pancasila :

·   Pelaksanaan sistem demokrasi Pancasila menimbulkan kesulitan karena diperlukan kesadaran rakyat dengan syarat-syarat kecakapan (pengetahuan, wawasan, integritas,dsb)

·   Sulitnya mengontrol kebebasan individu yang cenderung menggunakan hak kebebasannya secara mutlak dan melanggar hukum

·   Untuk menyelenggarakan sistem demokrasi yang ideal membutuhkan biaya yang mahal, baik yang menyangkut materi maupun instrumen infratsruktur  pendukungnya misalnya perangkat peraturan perundangan, pengorganisasin, dsb.

 

E.   Ciri Masyarakat Politik

Menurut Gramsci, negara adalah perpaduan dari masyarakat sipil dan masyarakat politik. Masyarakat sipil mencakup seluruh aparatur transmisi yang lazim disebut “swasta”, seperti universitas, sekolah, media massa, gereja dan sebagainya. Masyarakat sipil memiliki peran yang sangat signifikan dalam membentuk kesadaran massa. Masyarakat politik adalah semua institusi publik yang memegang kekuasaan untuk melaksanakan “perintah”, seperti tentara, polisi, pengadilan, birokrasi dan pemerintah. Dengan demikian, masyarakat politik menunjuk pada semua institusi yang biasa disebut sebagai negara.

Masyarakat politik merupakan wilayah/ranah kekuatan, yang keduanya menjalankan fungsi pemeliharaan kontrol sosial politik dalam pengertian yang berbeda, sementara masyarakat sipil merupakan wilayah/ranah persetujuan. Masyarakat politik memegang fungsi ‘dominasi langsung’ (koersif),sementara masyarakat sipil memegang fungsi ‘hegemoni’. Masyarakat politik berada di bawah kendali negara dan pemerintah ,sementara masyarakat sipil berada di bawah kendali kelompok dominan. Seorang sosiolog AS, Robert Wunthow,  mengemukakan teori “three sectors model” atau model tiga sektor .  yaitu:

§ sektor negara atau masyarakat politik,  dengan pilar utamanya lembaga-lembaga kenegaraaan seperti parlemen, pemerintah dan lembaga pengadilan. Berlaku prinsip kekuasaan yang memaksa (coercion), dimana negara memiliki monopoli dalam menjalankan kekerasan guna menegakkan hukum dan peraturan-peraturan, misalnya dalam menarik pajak, menjamin berlakunya perjanjian dan menjaga keagamaan.

§ sektor swasta, atau sektor pasar (market sector), dengan pilar utamanya perusahaan-perusahaan, termasuk bank-bank, Nilai utama sektor swasta adalah mekanisme pasar untuk mendapatkan keuntungan (market mechanism for profit)

§ sektor voluntir (the third sector). dengan pilar utamanya LSM atau lembaga gerakan masyarakat baru (new social movement). Nilai yang berkembang adalah kesukarelaan (voluntary), non profit dan non-coersive

Gambaran masyarakat politik yang diinginkan adalah suatu bentuk atau tatanan masyarakat aktif, yakni masyarakat yang mampu menguasai dan mengendalikan masyarakat (warga) mereka sendiri. Menurut Friedmann, masyarakat aktif adalah masyarakat yang mampu memperjuangkan kepentingannya melalui proses politik. Masyarakat aktif ini oleh Eep Saefullah fatah disebut publik, yang tidak timbul begitu saja, melainkan terbentuk melalui perjuangan panjang, sebagai hasil proses bentukan sosial. Masyarakat (publik) ini merupakan warganegara yang memiliki kesadaran akan dirinya, hak-haknya, kepentingan-kepentingannya, serta memiliki keberanian menegaskan keberadaannya, memperjuangkan pemenuhan hak-haknya, dan mendesak agar kepentingan-kepentingannya terakomodasi. Kegiatan politik dalam suatu masyarakat atau negara menempatkan kedudukan manusia sebagai insan politik (zoon politicon), yakni makhluk yang terlibat dalam kegiatan politik.Sebagai insan politik manusia merupakan elemen pokok yang melaksanakan aktivitas-aktivitas politik kenegaraan, baik sebagai aktor utama (pelaku) maupun sebagai obyek. Oleh karena itu, hanya dalam komunitas politik manusia dapat hidup dalam sebuah ‘kehidupan yang baik’ yaitu masyarakat yang berkeadilan sehingga untuk mewujudkan kepentingannya manusia   harus bekerja sama dengan pihak lain.

Masyarakat politik adalah masyarakat yang bertempat tinggal di dalam suatu wilayah tertentu dengan aktivitas tertentu yang berhubungan dengan bagaimana cara-cara memperoleh kekuasaan, usaha-usaha mempertahankan kekuasaan, menggunakan kekuasaan, wewenang dan bagaimana menghambat penggunaan kekuasaan, pengendalian kekuasaan, dsb.

Ciri-ciri masyarakat politik adalah sbb :

·   adanya perilaku politik, yakni keseluruhan tingkah laku aktor politik dan warganegara yang telah saling memiliki, hubungan antara pemerintah dan masyarakat, antar lembaga-lembaga pemerintah dan antara kelompok masyarakat dalam rangka proses pembuatan, pelaksanaan, dan penegakkan keputusan politik

·   adanya budaya politik, yakni sikap oreientasi yang khas warganegara terhadap sistem pilitik dan aneka ragam bagiannya dan sikap terhadap peranan warganegara yang ada dalam sistem itu. Warganegara senantiasa mengidentifikasikan diri mereka dengan simbol-simbol dan lembaga kenegaraan berdasarkan orientasi yang mereka miliki.

·   Adanya kelompok kepentingan, yakni organisasi yang berusaha mempengaruhi kebijakan pemerintah tanpa berkehendak memperoleh jabatan publik. Kelompok kepentingan tidak berusaha menguasai pengelolaan pemerintahan secara langsung, meskipun mungkin pemimpin-pemimpin atau anggotanya memenangklan kedudukan-kedudukan politik berdasarkan pemilu. Kelompok kepentingan bisa menghimpun ataupun mengeluarkan dana dan tenaganya untuk melaksanakan tindakan-tindakan politik dan bisanya mereka beada di luar tugas parpol.

·   Adanya kelompok penekan, merupakan kelompok yang dapat mempengaruhi atau bahkan membentuk kebijakan pemerintah. Adapun cara yang dipergunakan dapat melalui persuasi, propaganda, atau cara-cara lain yang dipandang lebih efektif. Mereka antara lain kelompok pengusaha, industriawan, dan asosiasi lainnya.

F.  Partisipasi Politik

Sistem politik hanya mungkin terjelma bilamana rakyat itu sendiri berpartisipasi secara aktif dan bertanggung jawab di dalamnya. Partisipasi adalah keterlibatan warganegara dalam proses politik, yang intinya adalah proses pengambilan keputusan.

Myron Weiner menyebut tiga aspek dari partisipasi.

1.     Pertama, partisipasi adalah tindakan, termasuk tindakan verbal, bukan hanya sikap atau perasaan subyektif.

2.     Kedua, ialah kegiatan itu keluar dari kehendak warganegara. Tindakan-tindakan yang diwajibkan atau dipaksakan tidak digolongkan dalam partisipasi.

3.     Ketiga, partisipasi mengandaikan adanya pilihan. Mobilisasi paksaan tidak dapat disebut partisipasi.

Ada dua ukuran pokok yang dapat dipakai untuk menilai partisipasi masyarakat dalam politik:

a.    Pertama, pengetahuan dan penghayatan terhadap politik yang mereka miliki, antara lain tentang hak dan kewajiban sebagai warganegara. Mereka yang memiliki pengetahuan dan penghayatan politik yang tinggi diperkirakan akan mampu berpartisipasi secara aktif dan lebih rasional. Mereka yang rendah pengetahuan dan penghayatan politiknya mungkin juga berpartisipasi secara aktif, tetapi bisa jadi kurang rasional. Hal ini dapat terlihat dari indikasi mudahnya mereka tergoda oleh teriakan-teriakan emosional yang menjurus kepada penguatan ikatan primordial (suku, agama, aliran atau keturunan).

b.    Kedua adalah kadar kepercayaan masyarakat terhadap sistem politik yang berlaku. Kadar kepercayaan itu antara lain ditentukan oleh kemampuan sistem politik itu menjawab tuntutan-tuntutan yang wajar dari masyarakat secara memuaskan.

Dari kedua hal tersebut akan lahir pola partisipasi yang aktif dan bertanggung jawab yang dapat menjamin kelangsungan hidup sistem politik itu sendiri.  Dilema yang dihadapi oleh negara berkembang pada umumnya adalah keinginan untuk membangun sistem politik yang demokratis sering dihantui oleh kekhawatiran akan lahirnya partisipasi politik yang kurang sehat.       Jika disimpulkan, masalah pokok sistem demokrasi di negara-negara berkembang adalah keperluan untuk meningkatkan mutu pengetahuan dan penghayatan politik masyarakat di satu sisi, dan keperluan untuk melihat bahwa masyarakat mengalami perubahan yang memungkinkan untuk mempunyai kadar pengetahuan dan penghayatan yang lebih tinggi daripada waktu sebelumnya.Menurut Jeffery M.Paige, melalui kedua faktor tersebut di atas (faktor pengetahuan dan kepercayaan) , dapatlah dibedakan empat tipe partisipasi politik :

·   Kalau pengetahuan/kesadaran politik masyarakat tinggi disertai kepercayaan mereka terhadap sistem politik juga tinggi, maka akan dihasilkan bentuk partisipasi secara aktif.

·   Kalau pengetahuan dan kesadaran politik yang tinggi dibarengi oleh kepercayaan yang rendah terhadap sistem politik, maka akan terjadi sikap dan tingkah laku yang cenderung membangkang (desiden), disertai dengan sikap dan tingkah laku yang kurang responsif dari penguasa.

·   Kalau pengetahuan dan kesadaran politik rendah disertai kepercayaan yang tinggi terhadap sistem politik, maka masyarakat tidak aktif berpolitik tetapi secara diam-diam mereka dapat menerima sistem politik yang berlaku. Partisipasi ini sering terjadi dalam sistem politik tradisional.

·   Kalau pengetahuan dan kesadaran politik rendah disertai kepercayaan yang rendah terhadap sistem politik, maka dimungkinkan adanya perilaku yang pasif dari masyarakat, yang dalam kepasifannya mereka merasa tertekan, oleh karena perlakuan yang mereka anggap sewenang-wenang dari penguasa. Partisipasi ini sering terjadi di negara dengan sistem politik  totaliter.

 

Bab 5 Sistem Politik di Indonesia (Pertemuan 13)

 BAB 5 SISTEM POLITIK DI INDONESIA

B.  Dinamika Politik Indonesia

Perkembangan yang sangat menonjol dari pelaksanaan demokrasi pada tahun-tahun awal kemerdekaan adalah banyaknya partai-partai yang didirikan.Keadaan itu terjadi karena azas demokrasi seperti yang dirumuskan dalam Pancasila itu, telah menciptakan iklim politik yang membuka lebar-bahkan menganjurkan didirikannya partai sebanyak-banyaknya, terutama dengan dikeluarkannya Maklumat No X tanggal 3 November 1945.

Banyaknya partai dengan iklim yang penuh dengan kebebasan, telah membawa kepada perkembangan demokrasi yang pelaksanaannya banyak mengalami kemacetan.Pada era UUDS 1950 nampak adanya gejala kehidupan demokrasi yang tumbuh kearah kebebasan tak terbatas, yang liberal kebarat-baratan.Demokrasi liberal boleh dikatakan telah gagal, karena memberikan peluang seluas-luasnya bagi faham-faham politik yang bersifat disintegratif untuk bermain dalam percaturan politik nasional.

Kekuasaan politik boleh dikatakan seluruhnya berada di tangan kaum politisi sipil yang berpusat di parlemen.Dalam badan legislatif itu sendiri duduk politisi-politisi yang mewakili banyak partai politik atau golongan.Dalam sistem politik yang dikenal dengan demokrasi parlementer ini, proses politik banyak diwarnai konflik politik dan ideologi, yang kadang-kadang disertai dengan bentrokan fisik dan pemberontakan.Banyaknya partai dan konflik yang terjadi menjadikan demokrasi liberal parlementer ini sebagai suatu sistem politik yang jauh dari stabil, yang ditandai dengan sering bergantinya kabinet.Antara 1950 sampai dengan 1959, tidak kurang dari 7 (tujuh) kali pergantian kabinet, hal ini menandakan pemerintahan yang tidak stabil. Ketujuh kabinet tersebut adalah : 1) Kabinet Natsir (September 1950-Maret 1951), 2) Kabinet Sukiman (April 1951 – Februari 1952), 3) kabinet Wilopo ( Februari 1952 – Juli 1953), 4) Kabinet Ali Sastroamodjojo I ( Juli 1953 – juli 1955), 5) Kabinet Burhanudin Harahap ( Agustus 1955 – Maret 1956), 6) Kabinet Ali Sastroamidjojo II (Maret 1956 – April 1957), Kabinet Karya I/R Djuanda (April 1957 – Juli 1959).

Ekses negatif yang tampak dalam kehidupan politik di masa demokrasi liberalis parlementer ini menurut M.Rusli Karim, antara lain :

·         Kedudukan pemerintah, dalam hal ini kabniet sangat labil, terutama sebelum pemilu 1955

·         Pemerintah belum mempunyai kesempatan yang memadai untuk mengerjakan sesuatu pekerjaan secara terencana dan tuntas

·         Keputusan-keputusan politik diambil melalui pungutan suara (voting), terutama menyangkut kebijaksanaan pemerintah dan yang menjadi wewenang lembaga perwakilan rakyat

·         Oposisi dijalankan dengan cara menampakkan citra negatif terhadap pemerintah di kalangan rakyat

·         Karena adanya iklim kebebasan maka dalam waktu yang relatif singkat kehidupan kepartaian tumbuh laksana jamur di musim hujan

Kegagalan sistem politik tahun 1950-an yang liberal kebarat-baratan itu telah mendorong kepada lahirnya konsepsi demokrasi terpimpin, yang akhirnya juga mengalami kegagalan. Pada masa demokrasi terpimpin, pusat kekuasaan tidak lagi terletak di parlemen. Bahkan menurut Alfian, jalan proses perubahan politik selanjutnya telah menjadikan peranan badan legislatif ini sangat merosot, kalaulah tidak dapat dikatakan lumpuh. Peranan kaum politisi sipil dengan partai-partai mereka, kecuali mungkin PKI, menjadi sangat minim dalam percaturan politik.

 Ada tiga kekuatan yang memainkan peranan penting dalam proses perpolitikan, yakni Presiden Soekarno, militer ABRI (terutama Angkatan Darat) dan PKI. Soekarno dianggap sebagai pemegang keseimbangan antara militer dan PKI, dan karena iitu  perannya dominan dan menentukan. Format politik yang lahir masih tetap menunjukkan konflik-konflik dan persaingan, terutama antara militer dan PKI.

Dengan demikian, ketidakstabilan masih merupakan warna yang tajam dalam sistem demokrasi  terpimpin. Kenyataan itu, ditambah dengan keadaan ekonomi yang amat parah, telah menyebabkan mudahnya format politik demokrasi terpimpin ini disingkirkan, setelah meletusnya peristiwa yang kemudian dikenal sebagai G30S/PKI.

Beberapa catatan penting bagi dinamika politik Indonesia di masa orde lama antara lain :

·   Dibubarkannya parlemen (DPR) hasil pemilu 1955

·   Pemusatan kekuasaan pada diri Presiden selaku Pemipin Besar Revolusi

·   Pemilu sebagai sarana demokrasi tidak diselenggarakan pada masa ini

·   Fungsi partai politik tidak dapat berjalan sebagaimana mestinya, sehingga partai politik  tidak punya potensi untuk memperjuangkan kepentingan rakyat dan sebaliknya partai politik cenderung menjadi pembela kepentingan pemerintah, hal ini sangat merugikan rakyat

·   Tidak adanya partisipasi politik secara bebas sesuai dengan aspirasi rakyat  dan pengawasan rakyat terhadap pemerintah tidak berjalan

·   Pers dikendalikan oleh pemerintah menjadi “pers terpimpin” , sebagai penyalur aspirasi dan kepentingan pemerintah.

Dua pengalaman traumatis dalam zaman demokrasi liberal dan demokrasi terpimpin telah mendorong para pendukung orde baru membangun sistem politik yang lain dari keduanya. Pelajaran yang dapat dipetik dari pelaksanaan demokrasi di masa orde lama adalah suatu konsepsi politik atau sistem demokrasi hanya dapat dijalankan dengan baik apabila didukung dengan pemahaman dan penghayatan terhadap nilai-nilai demokrasi dan budaya politik masyarakat yang menjadi pendukungnya, di samping perlu adanya pengarahan dan keteladanan dari pemimpin-pemimpin masyarakat dan para pemegang kekuasaan politik.

Pelajaran umum yang dapat ditarik adalah bahwa Indonesia hanya mungkin dapat dikelola dalam arti politis, dengan suatu sistem politik yang sesuai dengan pandangan hidup bangsa yaitu Pancasila dan UUD 1945 sebagai hukum dasar negara. Dalam hal ini muncullah apa yang kemudian dikenal dengan sistem demokrasi Pancasila di bawah naungan pemerintahan orde baru.

Orde baru dimaknai sebagai suatu orde (tatanan) pemerintahan yang diletakkan pada kemurnian pelaksanaan Pancasila dan UUD 1945.Sedangkan demokrasi Pancasila secara singkat diartikan sebagai suatu faham demokrasi yang diintegrasikan (diliputi dan dijiwai) oleh sila-sila dalam Pancasila.Salah satu ciri khas dari format baru ini adalah peranan dominan dan menentukan dari ABRI dalam politik, peranan ini lahir dari sejarah perkembangan politik itu sendiri. Dengan diterimanya dwi fungsi ABRI, maka itu bisa diartikan sebagai jaminan terhadap kelangsungan peranan militer dalam politik.

Sungguhpun begitu, ternyata peranan militer ini  tidak sampai mengarah menjadi diktatur atau oligarkhi militer. Hal ini  dimungkinkan karena dalam diri ABRI itu sendiri telah berkembang ideologi anti diktatur dan oligarkhi militer. Ciri khas lainnya adalah corak peranan politik golongan sipil dengan partai-partai politiknya semakin melemah. Namun di sisi lain, peranan golongan sipil lain yakni kaum teknokrat dan angkatan muda yang memasuki Golongan Karya (Golkar) nampak cukup menonjol dan dengan demikian semakin melemahkan golongan politisi yang membawa bendera partai.

Kenyataan yang muncul, Golkar lebih menunjukkan partner atau kepanjangan tangan ABRI dalam politik. Pasca pemilu 1971, terjadi penyederhanaan sistem kepartaian di Indonesia, yakni dengan fusinya beberapa partai politik menjadi dua parpol yakni Partai Persatuan Pembangunan (PPP) dan Partai Demokrasi Indonesia (PDI). Dalam kondisi seperti ini sesungguhnya sudah muncul kekhawatiran pada sebagian orang, kalau hal itu akan menjurus kepada suatu sistem politik yang monolitis sifatnya. 

Sejarah telah membuktikan bahwa pada masa pemerintahan orde baru pelaksanaan demokrasi Pancasila bersifat otoriteristik. Semangat kekeluargaan dan kegotongroyongan dijadikan slogan. Kehidupan demokrasi yang menghendaki musyawarah mufakat dalam prakteknya digunakan oleh penguasa untuk menitikberatkan stabilitas keamanan, namun di pihak lain tidak menghendaki kebebasan berpendapat. Kritik yang tidak sejalan dengan kebijakan pemerintah dianggap anti Pancasila dan menghambat pembangunan. Dengan demikian, praktek demokrasi Pancasila dapat dikatakan belum sejalan dengan jiwa, semangat dan  cita-cita luhur yang diamanatkan dalam UUD 1945. Fenomena yang terjadi antara lain :

·   Banyak terjadi manipulasi politik

·   Supremasi hukum baru sekedar menjadi slogan, keadilan belum dirasakan oleh seluruh masyarakat, banyak terjadi kasus mafia lembaga peradilan dan jual beli keputusan pengadilan, sehingga hukum belum berpihak pada keadilan

·   Terjadi korupsi, kolusi dan nepotisme (KKN) yang kronis hampir di seluruh lembaga negara baik di tingkat pusat maupun daerah

·   Terdapat ketidakadilan dalam perlakuan terhadap partai politik

·   Kebebasan berpendapat dibatasi dengan alasan memelihara stabilitas keamanan

Dinamika politik yang ternyata tidak menguntungkan bagi kehidupan rakyat banyak, terus berlangsung dan bahkan keadaan semakin parah ketika menjelang akhir abad 20 (tahun 1997-an) terjadi krisis ekonomi dan moneter yang kemudian diikuti krisis kepercayaan, dan berbagai krisis lainnya. Singkatnya, Indonesia mengalami krisis multidimensi. Dalam keadaan demikian, gelombang protes dan unjuk rasa mahasiswa semakin hari semakin gencar, dengan tuntutan agar pemerintahan (rezim) orde baru  turun dari panggung kekuasaan. Pada akhirnya, pertengahan 1998 Presiden Suharto menyatakan mengundurkan diri, dan jabatan Presiden diserahkan kepada Wakil Presiden BJ Habibie. Kekuasaan orde barupun berakhir dengan catatan sejarah yang kurang baik, karena telah gagal membawa bangsa Indonesia menuju kehidupan politik yang sesuai dengan makna UUD 1945. bersamaan dengan itu, muncullah pemikiran atau format baru politik Indonesia yakni orde reformasi.

Era reformasi disebut juga era kebangkitan demokrasi. Dalam pandangan BJ Habibie esensi reformasi nasional adalah koreksi terencana, melembaga dan berkesinambungan terhadap seluruh penyimpangan yang telah terjadi dalam bidang ekonomi, politik dan hukum. Sedangkan sasaran reformasi adalah agar bangsa Indonesia bangkit kembali dalam suasana yang lebih terbuka, lebih teratur, dan lebih demokratis.

Dinamika politik era reformasi dapat dilihat berdasarkan aktivitas politik kenegaraan sbb:

·   Kebijakan pemerintah yang memberi ruang gerak lebih luas terhadap hak-hak untuk mengeluarkan pendapat secara lisan maupun tulisan yang terwujud dalm bentuk peraturan perundang-undangan. Misalnya, UU no 9 tahun 1998 tentang Kebebasan menyatakan pendapat di muka umum dan UU nomor 2 tahun 1999 tentang partai politik yang memungkinkan sistem multipartai.

·   Upaya mewujudkan pemerintahan yang bersih dari KKN, berwibawa, dan bertanggung jawab dibuktikan dengan dikeluarkannya ketetapan MPR no IX/MPR/1998, dan ditindaklanjuti dengan keluarnya UU no 30 tahun 2002 tentang pembentukan Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.

·   Lembaga legislatif dan organisasi sosial politik sudah memiliki keberanian untuk menyalurkan pendapatnya terhadap eksekutif yang cenderung lebih seimbang dan proporsional

·   Lembaga tertinggi negara MPR telah berani mengambil langkah-langkah politik melalui pelaksanaan sidang tahunan dengan menuntut adanya laporan kemajuan kerja (progress report) semua lembaga negara, amandemen terhadap UUD 1945, pemisahan jabatan antara Ketua MPR dan Ketua DPR.

·   Media massa diberikan kebebasan dalam menentukan tugas jurnalistiknya secara professional tanpa ada rasa ketakutan untuk dicabut surat ijin penerbitannya.

·   Adanya pembatasan jabatan Presiden yakni hanya dapat menjabat untuk 2 kali masa jabatan dan sejak tahun 2004 Presiden dipilih langsung oleh rakyat

·   Dalam perjalanan politiknya, era reformasi ini belumlah mencapai hasil yang sesuai dengan visi dan misi reformasi. Masih banyak tatanan politik, ekonomi, dan hokum yang belum sesuai dengan harapan masyarakat, misalnya pemberantasan korupsi yang masih tersendat-sendat, penegakkan hukum yang belum optimal, partisipasi masyarakat yang belum disertai dengan pengetahuan dan kesadaran politik yang memadai.

C.   Perbandingan Sistem Politik Liberal, Sistem  Politik Komunis dan Sistem Politik Indonesia

 Dalam ilmu politik dikenal adanya  tiga macam cita-cita kenegaraan, yakni :

·   Kolektivisme, yang berpendirian bahwa manusia merupakan bagian saja dari masyarakat (kolektiva), tanpa masyarakat ia tidak berarti apa-apa, oleh karena itu segala usaha harus diarahkan untuk menjamin kelangsungan hidup masyarakat; individu kurang mendapatkan perhatian.  Cita-cita kenegaraan ini pada umumnya dijumpai di negara-negara yang menganut faham komunisme.

·   Individualisme, yang berpendirian bahwa manusia merupakan individu yang mandiri, di mana segala usaha ditujukan untuk menjamin kelangsungan hidup dan tercapainya kebahagiaan individu. Cita-cita kenegaraan ini pada umumnya dijumpai di negara-nbegara barat yang menganut sistem demokrasi liberal.

·   Integralisme, yaitu faham nasionalisme integral, di mana negara bersatu dengan rakyat dan mengatasi seluruh golongan yang ada dalam segala lapangan kehidupan dengan kepemimpinan yang mutlak. Cita-cita kenegaraan ini biasanya menjelma di dalam kediktatoran.

Sistem Politik Liberal

Sistem politik liberal yang dianut di negara-negara barat dapat dideskripsikan sebagai berikut:

·   adanya kebebasan berpikir bagi tiap individu atau kelompok;

·   pembatasan kekuasaan; khususnya dari pemerintah dan agama;

·   penegakan hukum;

·   Sangat menjunjung tinggi hak-hak asasi manusia, yang menjadi pemusatan kepentingan adalah individu

·   Melahirkan sekularisme, yaitu paham yang memisahkan antara negara dengan agama pertukaran gagasan yang bebas;

·   sistem pemerintahan yang transparan yang didalamnya terdapat jaminan hak-hak kaum minoritas

·   Pengambilan keputusan dalam sistem politik liberal mengacu pada suara terbanyak melalui voting, sehingga kemungkinan bisa terjadi dominasi mayoritas

·   kebebasan yang mengarah pada free fight liberalism

·   Adanya budaya yang tinggi dengan menjungjung tinggi kreatifitas, produktifitas, efektifitas, dan inovasitas warga negaranya

Sistem Politik Komunis

Sistem politik komunis yang dianut di negara-negara timur dapat dideskripsikan sebagai berikut:

·   Bercirikan pemerintahan yang sentralistik, mengarah pada diktatur atau totaliter

·   mengutamakan kepentingan kolektif dan menghapuskan hak individu, hak milik pribadi, hak-hak sipil dan politik,

·   tidak adanya mekanisme pemilu yang terbuka,

·   tidak adanya oposisi,

·   dorninasi partai tunggal yang mutlak, yaitu partai komunis.

·   terdapat pembatasan terhadap arus informasi dan kebebasan berpendapat

·   terjadi tirani minoritas

·   mengarah pada system etatisme (pengendalian ekonomi oleh negara)

Sistem Politik demokrasi Pancasila

Sistem politik demokrasi Pancasila dapat dideskripsikan secara garis besar sebagai berikut:

·   Bersumber pada pandangan atau falsafah kekeluargaan, yakni suatu faham yang mengutamakan rasa kebersamaan dengan dilandasi oleh rasa kasih sayang

·   Dalam kehidupan sosial politik, dimungkinkan adanya kebebasan berpendapat dan berpartisipasi dalam berbagai aktivitas

·   Sistem politik demokrasi Pancasila menganut kebebasan yang bertanggung jawab, sebuah perpaduan kebebasan individu dengan tanggung jawab sosial

·   Pengambilan keputusan dalam sistem politik demokrasi Pancasila dilakukan melalui mekanisme musyawarah mufakat, dan kalau cara ini tidak tercapai baru dilakukan voting (suara terbanyak)

·   Sistem politik demokrasi Pancasila dilandasi semangat kekeluargaan dan kegotongroyongan, sehingga dapat dihindari dominasi mayoritas dan tirani minoritas

Sistem politik Indonesia didasarkan pada nilai, prinsip, prosedur, dan kelembagaan yang demokratis. Adapun sendi-sendi pokok dari sistem politik demokrasi di Indonesia adalah :1) Ide kedaulatan rakyat; 2) Negara berdasarkan atas hokum; 3) Bentuk Republik; 4) Pemerintahan berdasarkan konstitusi; 5) Pemerintahan yang bertanggung jawab; 6) Sistem Perwakilan; 7) Sistem pemerintahan presidensiil

Sedangkan pokok-pokok dalam sistem politik Indonesia adalah sebagai berikut;

  1. Negara berbentuk kesatuan dengan prinsip otonomi yang luas. disamping adanya pemerintah pusat, terdapat pemerintah daerah yang memiliki hak otonom
  2. Pemerintahan berbentuk republik, sedangkan sistem pemerintahan presidensial
  3. Presiden adalah kepala negara sekaligus kepala pemerintahan. Presiden dan wakil presiden dipilih secara langsung oleh rakyat untuk masa jabatan 5 tahun
  4. Kabinet atau menteri di angkat oleh presiden dan bertanggung jawab kepada presiden. 
  5. Parlemen terdiri dari dua kamar (bikameral), yaitu Dewan Perwakilan Rakyat(DPR) dan Dewan Perwakilan Daerah (DPD)
  6. Pemilu di selenggarakan untuk memilih presiden dan wakil presiden, Anggota DPR, anggota DPD, anggota DPRD Propinsi dan anggota DPRD kabupaten/kota
  7. Sistem multipartai (banyak partai) 
  8. Kekuasaan Yudikatif di jalankan oleh Mahkamah Agung dan badan peradilan dibawahnya yaitu pengadilan tinggi dan pengadilan negari serta sebuah Mahkamah Konstitusi
  9. Lembaga negara lainnya adalah Badan Pemeriksa Keuanagan dan Komisi Yudisial

ELEMEN 4 NEGARA KESATUAN REPUBLIK INDONESIA UNIT 1

 Unit 1 Paham Kebangsaan, Nasionalisme dan Menjaga NKRI  Dalam mendalami materi ini silahkan simak Video di bawah ini Pertemuan 1           ...