Senin, 29 Maret 2021

Bab 9 Integrasi Nasional dalam Bingkai Bhinneka Tunggal Ika (Pertemuan 10)

 Pertemuan 10

Integrasi Nasional dalam Bingkai Bhinneka Tunggal Ika

A.       Proses Pembentukan dan Perkembangan Integrasi Nasional

Istilah integrasi mengandung arti pembauran/penyatuan sehingga menjadi kesatuan yang utuh /bulat, sedangkan nasional mempunyai pengertian kebangsaan, bersifat bangsa sendiri, meliputi suatu bangsa seperti cita-cita nasional, tarian nasional, perusahaan nasional.  Istilah integrasi nasional merujuk kepada  seluruh unsur dalam rangka melaksanakan kehidupan bangsa, meliputi sosial, budaya, ekonomi. Dengan demikian Integrasi nasional dapat diartikan penyatuan  bagian-bagian yang berbeda dari suatu masyarakat menjadi suatu keseluruhan yang lebih utuh, atau memadukan masyarakat-masyarakat kecil yang banyak jumlahnya menjadi suatu bangsa.

Secara singkat proses terbentuknya integrasi nasional di Indonesia dapat dideskripsikan sebagai berikut:

·      Modal awal integrasi nasional adalah rasa senasib sepenanggungan yang dimiliki oleh bangsa Indonesia sejak dulu kala. Meskipun perjuangsan bangsa Indonesia dalam mengusir penjajah pada kurun waktu sebelum abad 20 ditandai sifat kedaerahan, namun rasa senasib sepenanggungan yang ditunjukkan oleh para pejuang dan pendahulu kita sudah mencerminkan benih-benih semangat kebangsaan, yang pada gilirannya kelak membentuk keutuhan bangsa Indonesia.

·      Memasuki abad 20, gejala semangat kebangsaan makin kentara, ketika muncul berbagai organisasi atau pergerakan yang menjadi titik awal kebangkitan nasional. Perjuangan melalui berbagai organisasi seperti Budi Utomo, Serikat Dagang Islam yang kemudian menjadi Serikat Islam. Perhimpunan Indonesia, dan lain sebagainya mencitrakan adanya integrasi sosial dan kultural.

·      Pada dekade 1920-an, para pemuda tampil dalam panggung sejarah Indonesia dengan mengusung tema persatuan dan kesatuan menuju Indonesia merdeka. Melalui peristiwa Sumpah Pemuda pada 28 Oktober 1928, para pemuda menbunjukkan peran sertanya dalam pembentukan integrasi nasional.

·      Menjelang proklamasi, semangat kebangsaan semakin menguat dan melalui proklamasi kemerdekaan 17 Agustus 1945 terbentuklah Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) yang berarti pula terbentuklah nasionalisme Indonesia, sebuah konsep keutuhan bangsa dan Negara Indonesia yang dibangun di atas pilar bhinneka tunggal ika.

·      Paska proklamasi kemerdekaan, perjalanan bangsa Indonesia dalam   bernegara harus ditempuh melalui berbagai peristiwa dan dinamika. Berbagai cobaan yang menggoyang keutuhan bangsa juga dialami, bahaya atau ancaman terhadap negara yang sedang membangun keutuhan bangsa harus dihadapi.

B.       Ancaman Desintegrasi nasional

Disintegrasi menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia adalah suatu keadaan tidak bersatu padu atau keadaan terpecah belah; hilangnya keutuhan atau persatuan; perpecahan. Disintegrasi secara harfiah dipahami sebagai perpecahan suatu bangsa menjadi bagian-bagian yang saling terpisah. Suatu disintegrasi dapat dirumuskan sebagai satu-satu proses berpudarnya norma-norma dan nilai-nilai dalam masyarakat, karena perubahan-perubahan yang terjadi pada lembaga-lembaga kemasyarakatan.

Yang dimaksud dengan ancaman adalah setiap usaha dan kegiatan, baik dari dalam negeri maupun luar negeri yang dinilai membahayakan kedaulatan negara, keutuhan wilayah negara, dan keselamatan segenap bangs, dapat berupa ancaman militer maupun non militer.

Secara ringkas dapat digambarkan beberapa ancaman terhadap negara dalam membangun integrasi nasional dalam bingkai bhinneka tunggal ika sebagai berikut:

·       Peristiwa Pemberontakan PKI- Madiun, 1948.

·       Gerakan Separatisme: DI-TII, RMS, 1950-an.

·       Konflik Pusat-Daerah: Peristiwa Permesta, PRRI, 1950.

·       Peristiwa G.30.S./PKI 1965.

·       Peristiwa Malari 1974

·       Konflik vertikal Aceh (Gerakan Aceh Merdeka/GAM), gerakan Organisasi Papua Merdeka (OPM), dsb.

·       Aksi-aksi Kekerasan Sosial / Anarkis, 1998, 1999-2002.

·       Konflik Sosial Horisontal Ambon, Poso, dan lainnya, 1999-2002

·       Aksi-aksi Terorisme, Pengaruh Gerakan Global: Aksi Bom Bali, Hotel Marriot, hingga Aksi Terorisme pada masa-masa mutakhir.

·       Aksi Kekerasan Sosial-Keagamaan: Masalah Aliran Ahmadiyah dan Aliran-aliran Sesat, dsb.

 

C.       Faktor-faktor Penyebab Terjadinya Disintegrasi Bangsa

a.    Dalam negara yang berbentuk kepulauan yang dipisahkan oleh lautan, maka akan memunculkan sikap ingin menguasai daerah sendiri dan tidak mau diatur.

b.    Keberagaman suku, ras, agama bisa memicu disintegrasi bangsa, karena setiap golongan pasti mempunyai budaya, watak, dan adat yang berbeda dan yang pasti mereka masing-masing mempunyai ego kesukuan ( Chauvinisme ) yang memicu konflik dengan suku-suku yang lain.

c.    Rasa ketidakadilan yang memicu pemberontakan kepada yang berbuat tidak adil

d.    Kurang adanya rasa nasionalisme yang tinggi, kurangnya rasa toleransi sesama bangsa, campur tangan pihak asing dalam masalah bangsa.

e.    Perlakuan yang tidak adil dari pemerintah pusat kepada pemerintah daerah khususnya pada daerah-daerah yang memiliki potensi sumber daya/kekayaan alamnya berlimpah/ berlebih, sehingga daerah tersebut mampu menyelenggarakan pemerintahan sendiri dengan tingkat kesejahteraan masyarakat yang tinggi.  Sentralisasi pembangunan yang selama ini lebih terfokus di pulau Jawa, sehingga menyebabkan kesenjangan dan kecemburuan dari daerah lain, sehingga timbul keinginan untuk memisahkan diri dari NKRI.

f.     Perkembangan politik dewasa ini.  Dalam kehidupan politik sangat terasa adanya pengaruh dari statemen politik para elit maupun pimpinan nasional, yang sering mempengaruhi sendi-sendi kehidupan bangsa, sebagai akibat masih kentalnya bentuk-bentuk primodialisme sempit dari kelompok, golongan, kedaerahan bahkan agama.  Keterbatasan tingkat intelektual sebagian besar masyarakat Indonesia sangat mudah terpengaruh oleh ucapan-ucapan para elitnya sehingga dengan mudah terpicu untuk bertindak yang menjurus kearah terjadinya kerusuhan maupun konflik antar kelompok atau golongan.

 

D.       Upaya Menanggulangi Disintegrasi Bangsa

Menjaga keutuhan bangsa dan Negara mutlak harus dilakukan oleh seluruh komponen bangsa agar cita-cita dan tujuan nasional sebagaimana termaktub dalam Pembukaan UUD Negara Republik Indonesia tahun 1945 dapat tercapai.  Dalam alinea keempat Pembukaan UUD 1945 dinyatakan “…  untuk membentuk suatu pemerintahan negara Indonesia yang melindungi segenap bangsa Indonesia dan sluruh tumpah darah Indonesia, memajukan kesejahteraan umumn, mencerdaskan kehidupan bangsa dan ikut serta melaksanakan ketertiban dunia….”.

Pencapaian  tujuan nasional dan cita-cita masyarakat adil makmur di tengah-tengah kebhinnekaan masyarakat Indonesia bukanlah pekerjaan mudah, sebab keragaman yang ada di satu sisi bisa merupakan potensi untuk memperkaya khazanah bangsa sebagai bentuk persatuan dan kesatuan, tetapi di sisi lain bisa juga menjadi sebuah potensi yang dapat menimbulkan perpecahan. Ketika hal ini bisa menyebabkan persatuan dan kesatuan bangsa, maka akan semakin memperkokoh jati diri dan kepribadian bangsa. Tetapi ketika keanekaragaman ini tidak bisa disikapi dengan bijak, maka akan menyebabkan konflik-konflik internal, yang jika dibiarkan dapat mengancam persatuan dan kesatuan bangsa. Dengan kata lain, kemajemukan yang ada pada masyarakat Indonesia dapat menjadi faktor pendukung penguatan jati diri kebangsaan dan memperkuat persatuan, tetapi dapat juga berpotensi menjadi kerawanan yang mengancam keutuhan bangsa dan Negara. Oleh karenanya berbagai  kemungkinan yang menghambat integrasi nasional ini harus diantisipasi.

Upaya yang bisa dilakukan untuk menanggulangi disentegrasi bangsa  antara lain :

a.    Membangun dan menghidupkan terus komitmen, kesadaran dan kehendak untuk bersatu.

b.    Menciptakan kondisi dan membiasakan diri untuk selalu membangun konsensus.

c.    Membangun kelembagaan (pranata) yang berakarkan nilai dan norma (nilai-nilai Pancasila) yang menyuburkan persatuan dan kesatuan bangsa.

d.    Merumuskan kebijakan dan regulasi yang konkret, tegas dan tepat dalam aspek kehidupan dan pembangunan bangsa yang mencerminkan keadilan bagi semua pihak, semua wilayah.

e.    Upaya bersama dan pembinaan integrasi nasional memerlukan kepemimpinan yang arif dan bijaksana, serta efektif.

Secara kongkrit beberapa hal yang perlu dilakukan oleh pemerintah antara lain :

     Pemerataan pembangunan untuk mewujudkan kemajuan yang merata antar daerah

     Membangun sarana transportasi dan sarana komunikasi yang memadai

     Kebijakan yang berkeadilan dari pemerintah atas berbagai kelompok dalam masyarakat

     Penanaman nilai-nilai bersama (common value) kepada warga negara; yakni nilai-nilai Pancasila

Sedangkan warga masyarakat perlu melakukan hal-hal berikut:

     Membangun pola pikir untuk menanggapi perbedaan sebagai kenyataan yang wajar

     Membiasakan untuk melihat adat istiadat/budaya/keyakinan orang lain dari perspektif pemiliknya, bukan dari perspektif dirinya sendiri

     Membiasakan sikap hidup yang inklusif, bukan eksklusif

     Menyadari prinsip relativitas kultural.  

Minggu, 21 Maret 2021

Bab 6 SISTEM HUKUM DAN PERADILAN INTERNASIONAL (Pertemuan 8)

Pertemuan 8

SISTEM HUKUM DAN PERADILAN INTERNASIONAL

Cara Menyelesaikan Sengketa Internasional

Penyelesaian sengketa dapat dilakukan secara damai maupun dengan cara kekerasan.

1.   Penyelesaian secara damai

Penyelesaian secara damai dilakukan berdasarkan prinsip-prinsip :

a.    Prinsip itikad baik (good faith)

b.   Prinsip larangan penggunaan kekerasan dalam penyelesaian sengketa

c.    Prinsip kebebasan memilih cara-cara penyelesaian sengketa

d.   Prinsip kebebasan memilih hukum yang akan diterapkan terhadap pokok sengketa

e.    Prinsip kesepakatan para pihak yang bersengketa (konsensus)

f.    Prinsip penggunaan terlebih dahulu hukum nasional negara untuk menyelesaikan suatu sengketa (prinsip exhaustion of local remedies)

g.   Prinsip-prinsip hukum internasional tentang kedaulatan, kemerdekaan, dan integritas wilayah negara-negara.

Disamping ketujuh prinsip di atas, Office of the Legal Affairs PBB memuat prinsip-prinsip lain yang bersifat tambahan, yaitu:

1)   Prinsip larangan intervensi baik terhadap masalah dalam atau luar negeri para pihak

2)   Prinsip persamaan hak dan penentuan nasib sendiri

3)   Prinsip persamaan kedaulatan negara-negara

4)   Prinsip kemerdekaan dan hukum internasional

Penyelesaian sengketa secara damai dapat dilakukan dengan mekanisme hukum dan diplomasi.

a.   Penyelesaian dengan jalur hukum

1)   Arbitrase Internasional

Arbitrase adalah suatu bentuk alternatif penyelesaian sengketa yang dilakukan, diselengarakan dan diputuskan oleh arbiter atau majelis arbitrase, yang merupakan ”hakim swasta”. Arbitrase, yaitu penyelesaian sengketa internasional dengan cara menyerahkannya kepada orang tertentu atau Arbitrator, yang dipilih secara bebas oleh mereka yang bersengketa, namun keputusannya harus sesuai dengan kepatutan dan keadilan ( ex aequo et bono).

Prosedur penyelesaiannya, adalah :

a)   Masing-masing negara yang bersengketa menunjuk dua arbitrator, satu boleh berasal dari warga negaranya sendiri.

b)   Para arbitrator tersebut memilih seorang wasit sebagai ketua dari pengadilan
Arbitrase tersebut.

c)   Putusan diambil dengan suara terbanyak.

2)   Penyelesaian Yudisial

Sengketa internasional dapat juga diselesaikan melalui suatu pengadilan internasional dengan memberlakukan kaidah-kaidah hukum.

Ada dua mekanisme penyelesaian sengketa internasional melalui Mahkamah internasional, yaitu mekanisme normal dan khusus.

a)   Mekanisme Normal

§ Penyerahan perjanjian khusus yang berisi identitas para pihak dan pokok persoalan sengketa.

§ Pembelaan tertulis, berisi fakta, hukum yang relevan, tambahan fakta baru, penilakan atas fakta yang disebutkan dan berisi dokumen pendukung.

§ Presentasi pembelaan bersifat terbuka dan umum atau tertutup tergantung pihak yang bersengketa.

§ Keputusan bersifat menyetujui dan penolakan.

b)   MekanismeKhusus

§ Keberatan awal karena ada keberatan dari pihak sengketa karena Mahkamah Intrnasional dianggap tidak memiliki yurisdiksi atau kewenangan atas kasus tersebut.

§ Ketidakhadiran salah satu pihak yang bersengketa, biasanya dilakukan oleh Negara tergugat atau respondent karena menolak yurisdiksi Mahkamah Internasional.

§ Keputusan sela, untuk memberikan perlindungan terhadap subyek persidangan, supaya pihak sengketa tidak melakukan hal-hal yang mengancah efektivitas persidangan Mahkamah internasional.

§ Beracara bersama, beberapa pihak disatukan untuk mengadakan sidang bersama karena materi sama terhadap lawan yang sama.

§ Intervensi, yakni Mahkamah Internasional memberikan hak kepada negara lain yang tidak terlibat dalam sengketa untuk melakkan intervensi atas sengketa yang sedang disidangkan bahwa dengan keputusan Mahkamah Internasional ada kemungkinan negara tersebut dirugikan.

b.   Penyelesaian sengketa dengan cara diplomatik 

1)   Negosiasi, tidak seformal arbitrase dan yudisial. Terlebih dahulu dilakukan konsultasi dan komunikasi agar negosiasi dapat berjalan semestinya.

2)   Mediasi, yaitu cara penyelesaian sengketa internasional dimana negara mediator bersahabat dengan para pihak yang bersengketa, dan membantu penyelesaian sengketanya secara damai.

3)   Konsiliasi, dalam arti luas adalah penyelesaian sengketa dengan bantuan Negara-negara lain atau badan-badan penyelidik dan komite-komite penasehat yang tidak berpihak. Konsiliasi dalam arti sempit, adalah suatu penyelesaian sengketa internasional melalui komisi/komite dengan membuat laporan atau ussul penyelesaian kepada pihak sengketa dan tidak mengikat.

4)   Penyelidikan (inquiury), adalah biasanya dipakai dalam perselisisihan batas wilayah suatu negara dengan menggunakan fakta-fakta untuk memperlancar perundingan.

2.   Penyelesaian sengketa secara   kekerasan  

Negara-negara bila tidak mencapai kesepakatan untuk menyelesaikan sengketa mereka secara persahabatan, maka cara pemecahan yang mungkin digunakan adalah cara-cara kekerasan. Penyelesaian dengan cara paksa atau kekerasan dilakukan melalui :

a.    Perang dan tindakan bersenjata non perang, bertujuan untuk menaklukkan negara lawan dan membebankan syarat penyelesaian kepada Negara lawan.

b.   Retorsi, adalah pembalasan dendam oleh suatu Negara terhadap tindakan – tindakan tidak pantas yang dilakukan Negara lain. Contoh menurunkan status hubungan diplomatic, atau penarikan diri dari kesepakatan-kresepakatan fiscal dan bea masuk.

c.    Reprisal , yakni tindakan-tindakan pembalasan, adalah cara penyelesaian sengketa internasional yang digunakan suatu negara untuk mengupayakan memperoleh ganti rugi dari Negara lain. Adanya pemaksaan terhadap suatu Negara.

d.   Blokade secara damai, adalah tindakan yang dilakukan pada waktu damai, tapi merupakan suartu pembalasan. Misalnya permintaan ganti rugi atas pelabuhan yang di blockade oleh Negara lain.

e.    Intervensi (campur tangan),adalah campur tangan terhadap kemerdekaan politik tertentu secara sah dan tidak melanggar hukum internasional. Contohnya :Intervensi kolektif sesuai dengan piagam PBB; Intervesi untuk melindungi hak-hak dan kepentingan warga negaranya; Pertahanan diri; Negara yang menjadi obyek intervensi dipersalahkan melakukan pelanggaran berat terhadap hukum internasional.

 

1.        Mekanisme Kerja Mahkamah Internasional

Secara keseluruhan, ada 5 (lima) aturan yang berkenaan dengan Mahkamah Internasional. Kelima aturan atau dasar hukum tersebut adalah:

·   Piagam PBB(1945). Di dalam Piagam PBB 1945, dasar hukum yang berkenaan tentang MI terdapat dalam BAB XIV tentang MI sebanyak 5 pasal  yaitu pasal 92-96. 

·   Statuta MI (1945). Di dalam Statuta MI sendiri, ketentuan yang berkenaan dengan proses beracara terletak pada BAB III yang mengatur tentang Procedure dan BAB IV yang memuat tentang Advisory Opinion. Ada 26 pasal (pasal 39 - 46) yang tercantum di dalam BAB III, sementara di dalam BAB IV hanya terdapat 4 pasal (pasal 65-68)

·   Aturan Mahkamah atau Rules of the Court (1970) yang telah diamandemen pada tanggal 5 Desember 2000. Dasar hukum yang ketiga yaitu Aturan Mahkamah (Rules of the Court), (1970) yang terdiri dari 108 pasal. Aturan ini dibuat pada tahun 1970 dan telah mengalami beberapa amandemen dimana amandemen terakhir adalah pada tahun 2000. Aturan ini berlaku atau entry into force sejak tanggal 1 Februari 2001 dan bersifat tidak berlaku surut atau non-rectroactive.

·   Panduan Praktek atau Practice Directions I – IX . Dasar hukum yang berikutnya adalah Panduan Praktek (Practice Directions) I-IX. Ada 9 panduan praktek yang dijadikan dasar untuk melakukan proses beracara di MI. Panduan praktek ini secara umum berkisar tentang surat pembelaan (written pleadings) yang harus dibuat dalam beracara di MI.

·   Resolusi  tentang Praktek Judisial Internal dari Mahkamah atau Resolution Concerning the Internal Judicial Practice of the Court yang diadopsi pada tanggal 12 April 1976 dari Pasal 19 Aturan Mahkamah (1970). Dasar hukum terakhir dari proses beracara di MI adalah Resolusi tentang Praktek Judisial Internal dari Mahkamah (Resolution Concerning the Internal Judicial Practice of the Court), (1976). Resolusi ini terdiri dari 10 ketentuan tentang beracara di MI yang telah diadopsi pada tanggal 12 Apil 1976. Resolusi ini menggantikan resolusi yang sama tentang Internal Judicial Practice yang dikeluarkan pada tanggal 5 Juli 1968.

Pihak yang beracara

Untuk kasus yang bersifat contentious (sengketa dua pihak), Statuta MI membatasi hanya negarayang dapat beracara di MI.Ada tiga kategori negara atau state yang dapat beracara di MI yaitu:

·   negara Anggota PBB. Mengacu kepada pasal 35(1) dari Statuta MI dan pasal 93 (1) dari Piagam PBB, Negara anggota PBB adalah ipso facto (karena faktanya sendiri; menurut kenyataannya sendiri) terhadap statuta MI dan otomatis mempunyai akses ke MI. Kurang lebih ada 189 negara yang telah menjadi anggota PBB.

·   negara bukan anggota PBB akan tetapi tundukkepada Statuta MI. Selain itu Negara yang bukan anggota PBB dan bukan anggota Statuta MI dapat juga beracara di MI dengan persyaratan tertentu yang diberikan oleh Dewan Keamanan PBB. Adapun persyaratan yang dimaksud adalah menerima ketentuan dari Statuta MI, Piagam PBB (pasal 94) dan segala ketentuan berkenaan dengan pengeluaran dari MI atas dasar pertimbangan Majelis Umum PBB.

·   negara yang bukan anggota dan tidak masuk dalam wilayah/ Statuta MI. Untuk Negara-negara yang masuk dalam kategori ini harus membuat deklarasi untuk tunduk kepada segala ketentuan MI dan Piagam PBB (pasal 94),

      Salah satu kasus utama berkaitan dengan status negara untuk beracara di MI adalah kasus tentang Pelaksanaan dari Konvensi Pencegahan dan Penghukuman atas Kejahatan Pembunuhan. Kasus ini mengetengahkan sengketa tentang penafsiran pasal 35 Statuta MI, siapa yang berhak menjadi pihak yang dapat beracara di MI, dalam hal ini, sengketa antara Bosnia-Herzegovina atau Yugoslavia. Pada keputusannya, MI menerima locus standi (kedudukan) dari kedua pihak dengan dasar bahwa keduanya adalah anggota dari konvensi tersebut diatas.

Urutan Beracara

Perlu diketahui bahwa mekanisme beracara ini adalah untuk kasus-kasus yang sifatnya contentious (sengketa dua pihak). Prosedur beracaranya adalah sbb:

1. Penyerahan Perjanjian Khusus (Notification of Special Agreement) atau Aplikasi (Application)

2.   Perjanjian khusus atau aplikasi tersebut biasanya ditandatangani oleh wakil atau agent yang dilampirkan juga surat dari Menteri Luar Negeri atau Duta Besar di Hague dari negara yang bersangkutan.

3.   Setelah diterima oleh Registrar (register) MI dan dilengkapi kekurangan-kekurangan jika ada sesuai dengan statuta MI dan Aturan Mahkamah, maka register MI akan mengirimkan perjanjian atau aplikasi tersebut ke kedua belah pihak dan negara anggota dari MI. Kemudian hal tersebut akan dimasukan ke dalam Daftar Umum Mahkamah atau Court’s General Lists yang akan diteruskan dengan press release. Versi dua bahasa (Perancis dan Inggris) dari perjanjian atau aplikasi tersebut setelah didaftar, dialih-bahasakan dan dicetak, akan dikirim ke Sekretaris Jenderal PBB, negara yang mengakui jurisdiksi MI dan setiap orang yang memintanya. Tanggal pertama perjanjian atau aplikasi diterima oleh register adalah tanggal permulaan dimulainya proses beracara di MI.

4.   Pembelaan

Setelah tahap pemberian perjanjian khusus atau aplikasi untuk beracara di MI, maka tahap yang selanjutnya adalah tahap pembelaan, yaitu pembelaan tertulis (written pleadings) dan presentasi pembelaan (oral pleadings). Pada dasarnya, MI memberikan kebebasan kepada para pihak tentang jenis pembelaan utama yang akan dipakai, baik itu pembelaan tertulis maupun presentasi pembelaan.

5.  Keputusan (Judgment)

Keputusan Mahkamah Internasioanal dan Dampaknya

Sifat keputusan Mahkamah Internasional adalah :

a)      Mengikat ( pihak yang bersengketa dan pada perkara yang diputuskan )

b)      Final : tidak bisa banding, namun bisa mengajukan revisi bila ditemukan bukti-bukti baru

c)      Berdasarkan hukum

d)     Ex aequo et bono

e)      Mayoritas dari hakim yang hadir , bila perbandingannya sama maka keputusan ditentukan oleh pendapat  Presiden Mahkamah Internasional

Ada tiga cara untuk sebuah kasus dianggap telah selesai:

1)      para pihak telah mencapai kesepakatan sebelum proses beracara berakhir.

2)      pihak applicant atau kedua belah pihak telah sepakat untuk menarik diri dari proses beracara yang mana secara otomatis maka kasus itu dianggap selesai.

3)      MI memutus kasus tersebut dengan keputusan yang dibuat berdasarkan pertimbangan dari proses beracara yang telah dilakukan. 

Selain itu pendapat hakim MI dibagi atas tiga bagian, yaitu pendapat yang menolak atau dissenting opinion, pendapat yang menyetujui tetapi berbeda dalam hal tertentu atau separate opinions dan pendapat yang menyetujui atau declarations.

Peran Mahkamah Internasional sangat menentukan kepada kedua negara yang sedang bersengketa. Dalam hal ini, Mahkamah Internasional mempunyai kewenangan untuk memeriksa, menyelesaikan sengketa hingga memberikan keputusan atas dasar sengketa tersebut.

Dengan demikian suatu negara yang tidak mematuhi keputusan Mahkamah Internasional dapat berdampak :

a)      merusak citra negara tersebut dalam pergaulan antar bangsa.

b)      Negara tersebut dikucilkan dari pergaulan internasional

c)      dihentikannya bantuan dari negara lain

d)     terputusnya hubungan diplomatik kedua negara

e)      timbulnya ketidak harmonisan dalam kehidupan berbangsa dan bernegara.


ELEMEN 4 NEGARA KESATUAN REPUBLIK INDONESIA UNIT 1

 Unit 1 Paham Kebangsaan, Nasionalisme dan Menjaga NKRI  Dalam mendalami materi ini silahkan simak Video di bawah ini Pertemuan 1           ...